SEJARAH
DESA TAMIDUNG DAN AGUNG NIPA SANG WALIYULLAH
Tamidung adalah salah s
atu Desa yang ada diujung barat batas
Kecamatan Batang Batang dengan penduduk kurang lebih 5.000 jiwa dengan mayoris
beragama islam. Penamaan Desa Tamidung
tak lepas dari Sejarah perjalanan Kerajaan Sumenep,pada masa pemerintahan
Jokotole Panembahan Kuda Panole (1415-1460 M) . Pada masa itu Sang Raja
melakukan perjalanan dari Poday menuju keraton di Sumenep tatkala itu sang raja
dalam kodisi sakit yang cukup parah sehingga beliau harus di tandu oleh para
prajurit kerajaan .Waktu semakin berputar dan perjalanan semakin jauh melalui
perjalan Laut dan darat sampailah di desa Taman Sare, Sang raja Jokotole
semakin parah keadaannya sehingga tepat diSebuah desa sang raja menghembuskan
nafas yang terakhir menghadap kepada Sang Pencinta desa tersebut kita kenal
dengan nama Batang Batang yang di ambil dari bahasa Bebethang/Bhetang atau dalam
bahasa Indonesia nya Jenazah/Mayat/bangkai.
Rombongan pun bergerak menuju ke barat perjalanan panjang telah
dilalui letih,lemas dan lelah telah dirasakan oleh semua rombongan raja dan
para prajurit yang pada saat itu sang raja telah tiada/wafat Jenazah beliau
tetap di tandu untuk di bawa ke Kraton Sumenep,karena sudah lelah/LEMPO
sehingga istilah tersebut di kenang hingga menjadi nama sebuah desa yakni
Kolpo. Semua para rombongan pun lelah dan berencana untuk beristirahat atau
tidur sebentar dalam bahasa Madura DUNG TEDUNGAN rombongan pun sampai tertidur
atau TATEDUNG sehingga kejadian tersebut di kenang menjadi penamaan sebuah desa
yakni DESA TAMIDUNG. Sebelum sang raja Jokotole menghembuskan nafas yang
terakhir beliau sempat berwasiat kepada para menteri dan punggawa kerajaan
serta para prajurit .Wasiat beliau “NAKELA SENGKO’ MATE BAN MAYIT SENGKO’ EKIBA
KA KARATON KALABAN ETANDU,NALEKA DIMMA TANG PEKOLAN TANDU REA POTONG MAKA
EJADIYA SENGKO’ KUBUREKI “ maka tepat di sebuah Desa Lanjuk kalau sekarang ternyata pikulan tersebut patah sehingga di
situlah beliau di makamkan,tepat di Kampung Sa’asa Desa Lanjuk Kecamatan
Manding.
Konon pada dahulu laka tepat pada masa perintahan PANEMBAHAN SOMALA menjadi Adipati/Raja Sumenep di Desa Tamidung
hiduplah seorang Waliyullah yang bernama AGUNG NIPA. Menurut beberapa
keterangan dan para Tokoh Seppuh desa Tamidung Agung Nipa adalah keturunan
Bindara Saod dengan Nyai Izzah dari putra pertamanya K. Bahauddin Aryo Pacinan.
Semasa hidupnya Agung Nipa terkenal sebagai Ulama yang Kharismatik ,berwibawa
tinggi,ilmunya luas dan ahli tapa/menyepi,sampai beliau bertapa ke pengunungan
Kabupaten Pasuruan.Penamaan Agung Nipa SENDIRI konon dahulu kala diambil dari kejadian atau kegiatan bertapa beliau diatas ujung daun nipa/ilalang atau orang Madura bilang DAUN NIPA/LALANG Beliau mengajarkan ilmu agama disebuah Musallah
kecil/Langgar yang sampai saat ini di kenal dengan LANGGAR NIPA.
Agung Nipa terkenal sakti mandraguna segala ucapannya terkabulkan,
konon dahulu beliau datang dari perjalanan jauh dan sampai ke rumahnya perut
terasa lapar dan ingin makan Ikan .Beliau berkata kepada Istrinya “sengkok
ngakana juko’ Bantheng” sang istri terkejut sebab di dapur tidak ada Ikan
Bantheng/Kakap, maka sang istri pun bilang bahwa di dapur tidak ada ikan
tersebut. Lalu Agung Nipa Menaburkan Tanah ke sawah yang berisi air tepat di
sebelah Selatan Langgar ,dengan Kuasa Allah sawah yang berisi air tersebut
langsung berkeliaran Ikan Ikan yang sangat banyak dan Besar sehingga istri
beliau memasaknya untuk hidangan makan
beliau. Kala beliau makan tulang tulang ikan tersebut tidak diIzinkan untuk di
buang dan disuruh kumpulkan ,lalu tulang
tersebut di buang lagi ke Sawah/BELENAN maka dengan kehendak Ilahi tulang itu
menjadi ikan lagi.
Beliau beristrikan RA. JU’
KOROS salah satu keturunan K. BEING SEING
tokoh Thionghoa Muslim atau dikenal kampung Raden yang menurut beberapa
Ahli K. Being Seing adalah salah satu diantara rombongan bangsa mata sipit/China yg ikut serta dalam proses pembangunan kraton dan Masjid Jami' Sumenep yg di gagas langsung oleh seorang Arstisek berkebangsaan China yakni Law Piango.
Agung Nipa sendiri membuat sebuah waduk atau Kolam pemandian untuk
sarana berwudhu’ dan untuk air minum serta pengairan sawah untuk menanam padi
yang kita kenal sampai saat ini pemandian Waduk Nipa. Kala pembuatannya pohon
dan tanah serta batuh tunduk kepada beliau pohon Kepala untuk mengganjal tanah
dan batu di samping Waduk itu hanya EPANGKU’ dengan tangan beliau sehingga
pembuatan terasa enteng dan muda Karena keWaliannya dan Karomahnya .Sampai saat
ini pemandian tersebut bisa di rasakan dan di mamfaatkan oleh masyarakat
sekitar kampung Togu untuk mandi, mencuci, berwudhu, minum dan sarana Irigasi
pengairan sawah guna menanam padi dan jagung.
Agung Nipa banyak memiki santri mulai dari Daerah Batu Putih,Kolpo
dan Tamidung sendiri sampai dari saking walinya
dan karomahnya santri beliau ada yang mengaji suaranya bisa terdengar ke
Batu Putih, sungguh luar biasa . Di antara Santrinya yang terkenal: K. Yaman,
K. Jatim, K. Adam , K. Dul Zaman, K. Suma, K. Kahar dan lain lain. K. Dul Zaman sendiri adalah
keponakan beliau dari salah satu Putra Agung Saiman Buju’ Jereja. Agung Nipa
memiliki 3 Saudara yakni Agung Saiman Buju’ Jereja, Surriyah Buju’ Pancor dan
Kyai Hali Buju’ Gunung Hali. Agung Nipa wafat pada bulan Muharram tahun 1211 Hijriyah di Makamkan di Pemakaman Asta Daja
sebelah Utara pemakaman para Raden dan
tepatnya sebelah Barat Balai Desa Tamidung yakni di Kampung Togu desa
Tamidung.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAssalamualaikum terima kasih banyak atas tulisannya klo bisa silsilahnya di perjelas .sy kelahiran kampung Togo tamidung juga yg dekat dengan bujuk pancor wassalamu'alaikum
BalasHapusMohon masukannya ...dulu embah pernah cerita bahwa bujuk nipa itu suka memelihara monyet...gak tau bujuk nipa yg mana...katanya mbah qt masih keturunan beliau...mohon maaff
BalasHapusLokadi Makam wali agung nipa dimana?🙏
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus